Minggu, 06 April 2014

Prof. Imam Robandi, Si Dalang Pejuang ITS Muda

Imam Robandi akan selalu disebut-sebut sebagai sosok yang getol menyelami dunia seni. Meski Imam berdiri di tengah kampus dan jurusan yang tersohor dengan teknologi, ia mampu menunjukkan seni sebagai suatu bagian penting dalam perjalanan hidupnya.

Jiwa seni yang sudah mengikuti aliran darahnya diperoleh dari sang ayah. Bahkan, sang ayah yang tidak pernah meninggalkan aktivitas menyanyi setiap harinya pun turut andil dalam kemahiran Imam melatih suara hingga semerdu sekarang. “Kalau ayah nyanyi, ya pasti tertangkap telinga saya jadi sekalian belajar,” ujarnya. Tak hanya itu, ayahnya juga selalu menekankan pentingnya komunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut memang terlihat jelas dari antusiasme Imam berbicara di depan publik.

Jika berbicara mengenai kemahirannya memainkan alat musik gamelan, maka sang ibulah yang berjasa. “Saya sering dibawa ke kondangan dan di sana selalu ada musik gamelan,” kenangnya. Pria kelahiran 17 Agustus 1963 ini pun berlatih dengan gigih termasuk memainkan wayang. Menakjubkan, saat masih duduk di bangku kelas 3 Sekolah Dasar (SD) saja ia sudah jago menjadi dalang kecil yang memiliki koleksi lengkap wayang kulit.

Sebagai salah satu pendiri sanggar Elektro Budojo, Imam tak pernah melupakan keahliannya ketika bertandang ke negeri sakura. Saat melanjutkan pendidikan doktornya di Universitas Tottori, ia tak membuang kesempatan mengenalkan budaya Indonesia di Jepang. Siapa sangka, ia membawa seluruh koleksi wayang dan gamelan yang dimilikinya. “Lima belas menit saja, saya dapat 50 ribu yen setara Rp 5 juta,” ucapnya kembali dengan tawa.

Selain berkiprah di dunia seni dan pendidikan, delegasi Asia untuk International Curriculum Conference ini juga seorang aktivis sosial dan penulis. Terbukti, bukan hanya jurnal yang ia terbitkan, buku berjudul The Ethos of Sakura baru saja berhasil diselesaikannya. Bahkan, ia pun menjadi aktivis dakwah di masjid Manarul Ilmi ITS.

Sedang, bila berbicara mengenai keahlian, ia termasuk pria dengan segudang talenta. Mulai dari catur, berenang, memasak, fotografi, sampai bela diri Shorinji Kempo dan Jiu Jitsu. “Saya suka Jiu Jitsu karena tidak butuh power besar,” ungkapnya. Pasalnya, Imam memang dibesarkan di lingkungan tentara pula. Karena banyak hal yang ia pelajari dari seni dan budaya, ia pun berkeinginan mengakrabkan seni dengan ITS lewat pencalonannya.

Jadikan ITS Yang Muda
Sebagai bacarek yang gigih berkutat di dunia seni, Imam ingin menyelaraskan seni dan teknologi di ITS. Sebagaimana yang ia ungkapkan dalam mottonya "ITS yang Berilmu dan Berbudaya" yang disingkat "ITS yang Muda". Menurut Imam, jika semua hal berangkat dari seni, maka semua hal pun bisa dicapai.

ITS memang tak bisa hanya mengandalkan teknologi dalam persaingan global. “Kita harus punya budaya,” terangnya. Ia menyebutkan, yang dimaksud budaya di sini tidak hanya sebatas kesenian tradisional ataupun modern, melainkan berbagai hal yang bisa menjadi sorotan budaya. Misalnya saja, lingkungan, paper, dan seni dalam arti yang sebenarnya.

Ia berharap dapat mempercepat pertumbuhan ITS di segala hal. Baginya, segala hal yang menjadi bagian dari ITS hendaknya dijadikan sebagai kebiasaan. “Kita kan perlu menjadikan international recognition academic sebagai atmosfer,” pungkasnya.

sumber : http://old.its.ac.id/berita.php?nomer=7242

0 komentar:

Posting Komentar